Ganjalan Setelah Ujian Nasional Usai

by Aam Amarullah | 04.43 in |




Ujian Nasioanal bukan satu-satunya penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.


Usai sudah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2009 untuk SMP dan SMA. Kini, sekitar lima juta siswa SMP dan SMA berharap-harap cemas menunggu pekan ke tiga Juni, saat penetapan hasil UN tiba.

Dalam sebuah diskusi kecil dengan peserta UN belum lama ini, beberapa di antaranya berkeluh kesah. Mereka memrotes penyelenggaraan UN yang baru saja berlangsung dan mengaku stress serta bingung. Siswa-siswa yang berusia 15 hingga 18 tahun itu, mengeluhkan, bagaimana mungkin mereka sudah lelah belajar selama tiga tahun dengan prestasi yang lumayan, namun tiba-tiba nasibnya ditentukan oleh sebuah UN yang hanya berlangsung selama tiga atau lima kali dalam dua jam.

Para siswa itu tentu tak mengeluh sendirian. Sejak awal tahun 2003, kebijakan UN memang terus menuai protes. Tapipemerintah seakan tidak pernah mau mendengarkan pendapat masyarakat pendidikan. Pemerintah seolah yakin pada logika bahwa UN dapat meningkatkan mutu dan melahirkan budaya kerja keras.

''Bila tujuan UN untuk menciptakan standar nasional, apakah mekanisme yang dipakai cukup adil, mengingat latar belakang sosial, ekonomi, geografis, dan budaya masyarakat Indonesia sangat beragam dan memerlukan kriteria yang beragam pula,'' ujar pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa Darmaningtyas.

Menurut Darmaningtyas, standar kelulusan UN tahun ini yang mencapai 5,5, bagi murid sekolah favorit di Jakarta mungkin akan sangat mudah dicapai. Tapi, standar yang sama sulit dicapai oleh sekolah di pinggiran Jakarta atau di daerah pelosok. ''Ini baru menyangkut soal disparitas sekolah,'' jelasnya.

Disparitas antardaerah, ujar Darmaningtyas, juga terjadi. Sekolah-sekolah di Papua, di pedalaman Sulawesi, Kalimantan, Maluku, NTB, dan NTT dituntut untuk mencapai standar yang sama dengan sekolah-sekolah di Jawa yang lengkap infrastruktur fisiknya. ''Ini jelas tidak fair,'' ujarnya.

Persoalan-persoalan keadilan inilah, kata Darmaningtyas, yang semestinya harus menjadi dasar bagi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk membuat suatu kebijakan, terlebih bila kebijakan itu akan berdampak pada memvonis nasib seseorang. ''Tanpa memperhatikan segi fairness dan keadilan, Depdiknas akan menciptakan masalah berulang seperti masa Orde Baru. Kunci perubahan tidak di mana-mana, tapi di Depdiknas sendiri, mau mendengarkan saran atau tidak,'' tegasnya.

Di lain pihak, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Mungin Eddy Wibowo menyatakan, tingkat kesukaran dan kompleksitas soal UN maupun nilai batas kelulusan memang perlu ditingkatkan secara bertahap. Tentu saja sesuai dengan tingkat kemajuan yang dicapai dan tingkat pencapaian standar nasional pendidikan. ''Dengan demikian kualitas kompetensi lulusan secara sistematik dapat dikendalikan dan ditingkatkan sehingga daya saing bangsa juga dapat ditingkatkan secara sistematis,'' jelasnya kepada pers, Senin (4/5).

BSNP, kata Mungin, dalam mengembangkan kriteria kelulusan mempertimbangkan keragaman mutu pendidikan secara nasional dan atau tolak ukur yang bersifat regional maupun internasional. Menurutnya, kriteria kelulusan peserta didik yang dikembangkan BNSP tidak menghambat penuntasan wajib belajar.

Tak hanya itu. Mungin mengatakan, UN bukan satu-satunya syarat kelulusan. Dalam Peraturan Pemerintah No 19/2009 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 63 ayat 1, disebutkan bahwa penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah.

Pasal 66 ayat 1 dalam PP itu, kata Mungin, menyebut bahwa penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. ''Jadi UN bukan satu-satunya penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Karena ada tiga komponen lagi yang harus dicapai agar lulus dari satuan pendidikan yang penilaiannya dilakukan guru di sekolah atau madrasah masing-masing,'' tegasnya.

Namun Mungin mengakui, berdasarkan hasil pemantauan dan laporan dari berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan UN 2009, terdapat sekitar 15 persen persoalan di lapangan. ''Secara umum 85 persen pelaksanaan UN berjalan dengan baik,'' ujarnya.

Permasalahan itu, kata Mungin, antara lain naskah soal UN yang dicetak oleh perusahaan percetakan yang ditetapkan oleh Panitia Penyelenggara Provinsi dalam pengemasannya masih ditemukan beberapa lembar naskah yang kurang halaman. Lalu ada soal Paket B masuk ke soal Paket A atau sebaliknya. Juga pengiriman naskah soal tidak disertai dalam lembar jawaban UN. Selain itu, lembar jawaban UN yang kualitasnya kurang baik juga cukup banyak.

Selain masalah teknis, kata Mungin, ada kasus penetapan target kelulusan dalam suatu daerah oleh pihak-pihak tertentu sehingga menimbulkan adanya upaya 'tim sukses' dengan berbagai cara berantai. Tim ini bisa dari pihak dinas pendidikan kabupaten/kota, kepala sekolah atau guru yang muaranya untuk membantu peserta didik dengan cara yang tidak terhormat dan tidak bermartabat. Adapula laporan kebocoran di beberapa tempat seperti di Bengkulu dan Cimahi.

Tentang soal UN yang tetap saja bisa dijebol kalangan pendidik dan bocor ke peserta UN, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Depdiknas, Dodi Nandika tampak tidak terlalu terkejut dengan kasus tersebut. ''Kalau bocor, jawabannya, UN itu uji kejujuran juga bagi kepala dinas, kepala sekolah, guru, dan siswa. Tahun kemarin juga bocor,'' katanya menjawab pertanyaan Republika , belum lama ini.

Namun Dodi juga menyatakan, UN memang akan ditinjau terus mekanisme dan sistemnya. Bahkan, wacana dan kajian UN sudah ada sejak dirinya masih di Litbang Depdiknas pada awal 2000-an. Sejak itu, sudah tercetus rumusan sistem cluster dan pilihan. Sekolah diberi pilihan menentukan ikut ujian tipe apa, misal A yang paling mudah atau B yang agak sulit.

Lalu, rumusan tentang sistem regional, berdasarkan kualitas atau mutu masing-masing daerah. ''Tapi, Mendiknas waktu itu ternyata lebih memilih ujian level nasional dengan tingkat konservatif. Artinya, ujian dengan kompetensi dasar sehingga semua siswa di Indonesia diperkirakan mampu mengerjakan,'' ungkap Dodi.

Kini, ia mengakui, masih ada batas standar kelulusan yang ternyata tak bisa dihadapi sejumlah komunitas pendidikan. ''Tapi, bukan berarti kenaikan kelulusan dari 5,25 menjadi 5,5 terlalu berat,'' tukas Dodi.BSNP dengan para ahlinya, menurut Dodi, tentu sudah menghitung dengan ahli psikometri data-data tingkat kesulitan soal UN. ''Ada hitung-hitungannya, kita tetapkan kelulusan UN dengan memperhatikan semua. Kita bermain dalam taraf konservatif,'' tegasnya. n endro yuwanto

Sumber :http://www.republika.co.id

0 komentar: