Terobosan Cerdas Excellent Class

by Aam Amarullah | 10.59 in | komentar (0)

Bagian II dari edisi khusus bulan ramadhan
Di Pondok pesantren Daar El-Qolam


Januari 2008, tepat di usia 40 tahun Pondok Pesantren Daar El-Qolam, Menteri Agama Republik Indonesia, Bapak Muhammad M Basyuni dengan khidmat menekan tombol tanda diresmikannya Excellent Class Program (ECP), sebuah program yang telah dirancang jauh-jauh hari sebelumnya sebagai bentuk terobosan bersejarah di alam pondok pesantren dalam upaya peningkatan pengembangan sistem pendidikan yang lebih bermutu, serta harapan pengembangan keilmuan yang lebih baik.

Menginjak usianya yang ke-40 tahun, Pondok pesantren Daar El-Qolam dengan kapabilitasnya sebagai pesantren yang “menjaga tradisi, merespons moderenisasi” telah terbukti mampu melahirkan alumni-alumni yang handal di berbagai bidang, puluhan ribu alumni pesantren ini tersebar di berbagai sektor kehidupan, baik di dalam maupun berbagai belahan dunia lainnya. Keberadaannya telah diakui sebagai legitimasi bagi setiap wali santri yang menginginkan anaknya mengenyam pendidikan islam lebih intensif, tidak kurang dari seribu santri baru setiap tahun turut bergabung menuntut ilmu di pesantren yang terletak di ujung barat kabupaten Tangerang ini.

Upaya peningkatan kualitas memang telah menjadi denyut keseharian hidup di pondok pesantren, pembangunan tiada henti, perbaikan sistem dilaksanakan setiap saat, program-program bergulir dan berkembang sepanjang waktu dengan tetap tidak terlepas dari koridor yang telah digariskan. Salahsatu bentuk perwujudan perbaikan kualitas adalah tercetusnya program ECP, sebagaimana ungkapan kyai bahwa Pengembangan program ECP dimaksudkan untuk memberikan kesempatan untuk berkembang bagi santri yang memiliki kemampuan lebih, “Mereka kurang mendapatkan kesempatan yang lebih untuk mengembangkan kreativitasnya, saya rasa kita memperlakukan mereka tidak adil” tegasnya, sebagai contoh, anak-anak yang unggul itu, sekali mendengarkan penjelasan guru di kelas langsung paham, mereka juga taat kepada disiplin pondok. Sementara di kelas atau di asrama mereka berbaur dengan kawan-kawannya dengan berbagai tingkat kemampuan dari yang sedang sampai yang rendah. Bahkan dengan akan-akan dengan perilaku yang kurang baik (nakal). Parahnya waktu guru habis untuk membina anak-anak yang lemah dalam kualitas perilaku (akhlak) dan ilmunya itu”.

Bersumber dari gagasan tersebut serta keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih baik, segenap keluarga besar pondok pesantren beserta guru dan alumni (team delapan) berembuk dan berhasil merumuskan program kelas unggulan yang memiliki tiga tujuan pokok yakni (i) Memberikan treatment dan kesempatan khusus bagi santri yang dinilai “lebih cerdas” agar dapat memanfaatkan waktu & kecerdasannya untuk lebih menambah ilmu & keterampilan khusus; (ii) Memberikan motivasi bagi santri (unggulan) untuk lebih dapat “mengeksplorasi” kemampuannya dalam mengembangkan ilmu & keterampilan; (iii) Menciptakan alumni-alumni unggulan yang memiliki “nilai–lebih” sehingga dapat lebih unggul dalam kerangka mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya maupun dalam pengabdian di masyarakat.

Satu tahun sudah program ini bergulir, upaya dan perbaikan sistem terus dilakukan. Saat awal berdiri, keberadaannya menuai respons yang amat beragam, pencanangan ECP sebagai rintisan menuju metoda dan kelas internasional memang menghajatkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit, fasilitas yang lengkap, sumber daya manusia yang kapabel, sistem informasi manajemen, pola administrasi serta struktur kelembagaan yang profesional mutlak diperlukan. Berbagai macam training, pelatihan, seminar, diskusi, penyusunan program, seleksi maupun pendekatan-peningkatan lain menjadi pembiasaan yang tak lagi asing di lingkungan pondok pesantren.

Dengan mengusung dua macam keunggulan program yaitu peningkatan kualitas berbahasa Arab dan Inggris serta pengembangan kemampuan riset dan penulisan ilmiah, ECP terus berbenah. Memang sudah menjadi Sunnatulloh bahwa dalam setiap proses selalu melahirkan berbagai macam permasalahan yang harus dicermati dan disikapi bersama-sama, berikut ini beberapa kemungkinan yang menurut penulis berpotensi menjadi kelemahan yang paling mendasar bagi terlaksananya sebuah program, yaitu (i). Kekurang siapan sumber daya manusia beserta stakeholder yang terdapat di dalamnya. Sebuah sistem yang luar biasa akan menjadi sulit tercapai tatkala tidak memiliki keseragaman dukungan dan pemahaman baik dari seluruh asatidz maupun segenap santri dan wali santri. Kesadaran akan upaya mewujudkan insan berkualitas harus mampu berurat dan berakar, mendarah daging di segenap keluarga besar Daar El-Qolam. Dibutuhkan kebulatan tekad, kemapanan ilmu, pembiasaan dan perluasan wawasan yang memerlukan pemikiran dan waktu tidak sedikit. Upaya pemenuhan sumber daya manusia yang benar-benar kapabel tentu memerlukan berbagai macam pertimbangan yang selektif dan profesional baik dari segi keilmuan, penghargaan, teaching methods, senioritas, kinerja, dan sebagainya dalam bentuk yang solid serta terukur.

Dalam prakteknya, upaya peningkatan kemampuan riset dan penulisan ilmiah tidak bisa dilakukan secara instan, apalagi hanya terfokus pada pengembangan materi serta tugas yang diberikan, budaya literasi, kemampuan melakukan riset dan sikap ilmiah an sich memerlukan bimbingan terstruktur, keteladanan, motivasi serta penghargaan yang kontinu. Kesadaran santri akan kebutuhannya terhadap kemampuan melakukan riset akan melahirkan sikap mental dan intelektualitas yang mampu dibanggakan. Pengakuan akan karya unggulan patut disandingkan bagi santri yang telah mampu menembus keterbatasan sebagai periset pemula. disamping itu, pemberian penghargaan sekalipun bersifat verbal akan sangat berbekas apabila diberikan pada momen yang tepat.

(ii). Sebuah pameo lama yang terungkap bahwa “kelemahan pondok pesantren terletak pada manajemen dan sistem administrasi” akan menjadi kenyataan apabila ECP tidak mampu melahirkan terobosan dalam kedua hal tersebut secara utuh dan universal. Pondok pesantren adalah segmen hidup yang nyata bagi setiap santri dengan sistem pendidikan terintegrasi selama 24 Jam, di dalamnya setiap santri mengukir pengalaman nyata dengan cara hidup bersama beserta segenap asatidz. Manajemen yang utuh tentu tidak akan membiarkan santri untuk menganggap pengalamannya di pesantren sebagai “mimpi indah” atau bahkan “mimpi buruk”, tidak semua sistem yang berlaku di berbagai lembaga besar lainnya cocok diterapkan di lingkungan pondok, akan tetapi kemapanan sistem adalah hasil pembelajaran yang terstruktur, pengembangan Total Quality Management di Daar El-Qolam memerlukan perhatian dan bentuk yang khas. Selembar ijazah akan terasa lebih bermakna apabila santri mampu memaknai kandungan dari lembaran tersebut, kebiasaan yang cenderung menghadapkan kekerasan, pendekatan dengan hanya bersandar pada berbagai macam aturan dan larangan, tidak adanya penghargaan bagi setiap proses dan, serta lemahnya penghargaan terhadap budaya literasi akan menimbulkan terlahirnya aturan yang cenderung membabi buta, tidak terkonsep, kurang visioner (terjadi dahulu baru dilarang), serta terkesan tergesa-gesa.

(iii). Perlahan namun pasti, Daar El-Qolam bangkit menunjukkan kualitasnya, terdapat peningkatan keilmuan secara signifikan terutama di bidang MAFIKIB. hal ini diakui oleh kyai sendiri dalam beberapa ungkapannya “Dalam pandangan saya kualitas keilmuan santri ada [peningkatan terutama di bidang eksak. Indikatornya kita bisa melihat kemampuan mereka bersaing pada event-event yang diselenggarakan di luar pondok seperti Olimpiade MAFIKIB. Kalau bahasa, ilmu kegamaan atau studi islam saya juga optimis namun karena langkanya kegiatan perlombaan pada bidang tersebut membuat indikatornya kurang valid, sebab mereka belum teruji kecuali perlombaan Bahasa Arab dan Inggris untuk level Banten kita lebih unggul”.

Sebuah mercusuar, dari baliknya terpancar cahaya keindahan, memberikan petunjuk bagi setiap kapal yang melintas. Akan tetapi terkadang mercusuar tersebut ternyata tidak mampu menyinari manusia yang bernaung di bawahnya, seringkali para pengawas merasa cukup dengan memberikan cahaya bagi tempat lain, sekalipun di sekitarnya gelap gulita. Saat ini, Daar El-Qolam terus berbenah, keberadaannya terus berupaya menerangi berbagai kalangan yang haus akan keutuhan ilmu pengetahuan, dalam citanya membentuk beribu arsitek peradaban, telah puluhan ribu keluarga mempercayakan pendidikan anak kebanggaannya kepada Daar El-Qolam, telah puluhan ribu harapan disemai dan berupaya ditumbuhkan dalam naungan sistem pondok pesantren, yang terkadang kehadirannya dengan berbagai harapan yang tinggi justru menuai kekecewaan, benar memang bahwa dalam setiap langkah penegakan syi’ar, dibutuhkan berbagai macam pengorbanan dari pihak yang berkecimpung di dalamnya, akan tetapi dibutuhkan sikap yang bijak untuk memahami bahwa para penjaga juga memerlukan cahaya penerang dalam tugasnya.

Guru/ustadz merupakan insan yang luar biasa, dituntut untuk mampu memahami dan meningkatkan keilmuan setiap saat sehingga menjadi “pembelajar sepanjang hayat”. Figuritas ustadz di mata masyarakat dipaksa untuk selalu memiliki nilai lebih baik dari segi akhlaq, keilmuan, kemapanan, kepemimpinan dan keteladanan. Semangat mujahadah, ukhuwwah islamiyyah, kebebasan pemikiran, kesederhanaan, kemandirian dan keikhlasan adalah ajaran adiluhung khas pondok pesantren yang harus dijaga bersama-sama di setiap tingkatan, di seluruh lini keluarga besar dan stakeholder, menghilangkan sekat-sekat status sosial, harta, pangkat dan jabatan. Berupaya menghilangkan kelemahan pesantren versi kyai: ”kelemahan kita itu syahadat kita belum kompak” sehingga berikutnya akan mampu melahirkan kekuatan dan keindahan yang terorganisir, diperhitungkan, berkualitas, dan bermartabat, semoga!